Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis
yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah
baik jika membawa manfaat, berfaedah atau berguna, tapi menfaat itu
harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai
keseluruhan. Aliran ini memberikan suatu norma bahwa baik buruknya suatu
tindakan oleh akibat perbuatan itu sendiri. Tingkah laku yang baik
adalah yang menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin
dibandingkan dengan akibat-akiba tburuknya. Setiap tindakan manusia
harus selalu dipikirkan, apa akibat dari tindakannya tersebut bagi
dirinya maupun orang lain dan masyarakat. Utilitarisme mempunyai
tanggung jawab kepada orang yang melakukan suatu tindakan, apakah
tindakan tersebut baik atau buruk. Menurut suatu perumusan terkenal,
dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk
menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness
of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Utilitarisme disebut lagi suatu teori teleoligis ( dari kata Yunani telos
= tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan
diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Dalam perdebatan antara
para etikawan, teori utilitarisme menemui banyak kritik. Keberatan utama
yang dikemukakan adalah bahwa utilitarisme tidak berhasil menampung
dalam teorinya dua paham etis yang amat penting, yaitu keadilan dan hak.
Jika suatu perbuatan membawa manfaat sebesar – besarnya untuk jumlah
orang terbesar, maka menurut utilitarisme perbuatan itu harus dianggap
baik. Jika mereka mau konsisten, para pendukung utilitarisme mesti
mengatakan bahwa dalam hal itu perbuatannya harus dinilai baik. Jadi,
kalau mau konsisten, mereka harus mengorbankan keadilan dan hak kepada
manfaat. Namun kesimpulan itu sulit diterima oleh kebanyakan etika-wan.
Sebagai contoh bisa disebut kewajiban untuk menepati janji. Dasarnya
adalah kewajiban dan hak.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Jeremi
Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Bentham merumuskan
prinsip utilitarisme sebagai the greatest happiness fot the greatest number
(kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin).
Prinsip ini menurut Bentham harus mendasari kehidupan politik dan
perundangan. Menurut Bentham kehidupan manusia ditentukan oleh dua
ketentuan dasar:
- Nikmat (pleasure) dan
- perasaan sakit (pain).
Oleh karena itu, tujuan moral tindakan manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalkan rasa sakit.
Prinsip dasar Ultilitarisme adalah
tindakan atau peraturan yang secara moral betul adalah yang paling
menunjang kebahagiaan semua yang bersangkutan atau bertindaklah
sedemikian rupa sehingga akibat tindakannmu menguntungkan bagi semua
yang bersangkutan.
2.1.2. Pembagian Utilitarisme.
- Utilitarisme perbuatan (act utililitarianism)
Menyatakan bahwa kita harus
memperhitungkan, kemudianmemutuskan, akibat-akibat yang dimungkinkan
dari setiap tindakanaktual ataupun yang direncanakan.
- Utilitarisme aturan (rule utilitarianism).
Menyatakan bahwa kita harus mengira-ngira, lalu memutuskan, hasil-hasil dari peraturan dan hukum-hukum.
2.1.3. Kelemahan Utilitarisme.
- Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
- Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
- Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
- Variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
- Seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan prioritas diantara ketiganya.
- Etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas .
2.1.4. . Contoh Penerapan Utilitarisme
Dalam pemilihan suara pada Pemilihan
Umum (PEMILU) suatu negara yang menganut asas demokrasi, calon presiden
dengan suara terbanyak adalah presiden yang memenangkan pemilu. Meski
pun perbandingannya hanya 49% dengan 51% tetap saja calon yang
memperoleh suara terbanyak akan menang. Demikian pula dengan
implementasi utilitarisme
Meski pun sudah dialami manfaat dari
utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara teoritis tidak memiliki
masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari
manfaat terbanyak bagi orang terbanyak, maka apakah akan ada orang yang
dikorbankan? Anggap saja ada anjing gila, anjing tersebut suka
menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang menyarankan anjing tersebut
dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan dibunuh. Penganut utilitarisme
akan menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3
orang tadi dikemanakan? Apakah mereka harus menerima itu begitu saja?
Kalau menurut teori ini YA.
Kasus di atas hanyalah sebatas anjing
bagaimana jika manusia? Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah
terjadi, tentu dalam perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi
ras mau pun etnis. Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi
etnis Tionghoa sebelum tahun 1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi
di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka
minoritas, dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini
dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat.
Dibalik kengerian dari aplikasi teori
utilitarisme ini, ada pula hal yang melegakan. Salah satunya adalah
ketika berkenaan dengan bisnis dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris
ini dapat berlaku sebagai tinjauan atas keputusan yang akan diambil.
Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan adalah angka-angka, jadi
keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi
manfaat terbanyak.
Prinsip dasar utilitarisme tidak harus
diterapkan atas perbuatan – perbuatan yang kita lakukan, melainkan atas
aturan – aturan moral yang kita terima bersama dalam masyarakat sebagai
pegangan bagi perilaku kita.
Kita dapat menyimpulkan bahwa
utilitarisme aturan membatasi diri pada justifikasi aturan – aturan
moral. Dengan demikian mereka memang dapat menghindari beberapa
kesulitan dari utilitarisme perbuatan. Karena itu utilitarisme aturan
ini merupakan suatu upaya teoritis yang menarik.
2.2. DEONTOLOGI
Dalam pemahaman teori Deontologi memang
terkesan berbeda dengan Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme
menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka dalam
Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi
perbuatan. ”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari kata dalam Bahasa
Yunani yaitu : deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan
pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak
boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari
hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi
menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang
baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh
melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik.
Misalkan kita tidak boleh mencuri, berdusta untuk membantu orang lain,
mencelakai orang lain melalui perbuatan ataupun ucapan, karena dalam
Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini
merupakan suatu keharusan.
Tanpa kita sadari sebagai umat beragama,
kita berpegang teguh pada Deontologi. Ada kalanya suatu perbuatan
dikatakan baik tetapi perbuatan lain dikatakan buruk. Orang yang
berpegang eguh pada agama pasti mengatakan bahwa apabila ada suatu
perbuatan dikatakan buruk pasti dia akan menjawab bahwa itu dilarang
agama. Dalam agama manapun pasti mengenal ajaran seperti itu tidak
terkecuali pada ajaran agama Yahudi – Kristiani dikenal dengan sebutan
”sepuluh Perintah Allah” ( The Ten Commandments ) yang bisa
diterima oleh semua agama, yaitu berdusta, mencuri, berzina, membunuh,
dll. Apabila ada pertanyaan mengapa hal – hal tersebut tidak boleh
dilakukan pasti kita akan menjawab hal – hal tersebut merupakan larangan
dari Tuhan, dan pastinya sepuluh larangan tadi juga tidak dibenarkan
dalam ajaran agama lain. Pendekatan Deontologi sudah bisa diterima dalam
konteks agama. Orang yang mendasari filosofis pada Teori Deontologi
adalah Immanuel Kant ( 1724 – 1804) dari Jerman. Menurut Kant ”
Perbuatan adalah baik jika dilakukan karena harus dilakukan” atau dengan
kata lain dilakukan sebagai kewajiban. Sekarang juga bisa dipahami
bahwa suatu perbuatan yang baik dari segi hukum belum tentu baik dari
segi etika. Perbuatan agar menjadi lebih baik di mata hukum yang
diperlukan hanyalah perbuatan tersebut harus sesuai dengan hukum yang
berlaku, tetapi perbuatan dikatakan baik secara moral itu belum cukup,
suatu perbuatan hanya bisa dianggap baik secara moral kalau dilakukan
karena kewajiban atau karena menjadi suatu keharusan. Benar – benar
berbeda dari hukum, hukum tidak menuntut labih dari yang dijelaskan di
atas, menurut Kant bagi hukum yang terpenting adalah ”legalitas”
perbuatan. Oleh karena itu hukum hanya menilai perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan hukum atau tidak. Jika dilihat secara sekilas memang
ada perbedaan antara utilitarisme dengan deontologi. Utilitarisme
mementingkan konsekuensi perbuatan, sedangkan Deontologi konsekuensi
perbuatan tidak berperanan sama sekali. Contohnya dalam kasus ”petrus” (
penembak misterius ) tahun 1983 dibenarkan atas dasar pemikiran
Utilitarisme, tetapi tidak diterima dalam Deontologi karena pembunuhan
tidak bisa dibenarkan walaupun konsekuensinya sangat menguntungkan bagi
masyarakat. Jika memang seseorang patut dihukum, hal tersebut harus
dilakukan menurut prosedur hukum yang resmi. Dalam contoh di atas
penilaian moral dari utilitarisme dan Deontologi sanagat berbeda, namun
pada kenyataannya perbedaan itu sering tidak dirasakan. Contohnya dalam
peristiwa SDSB ( Sumbangan Dermawan Sosial berhadiah ) dihentikan oleh
Menteri Sosial yang saat itu dijabat Ny. Dra.E.k. Inten Soeweno. Dalam
kasus ini ketidakpuasan dapat dibedakan dua pendekatan yang bersifat
Utilisasi maupun Deontologi. Ada penekanan yang menyebutkan bahwa
mengikuti SDSB sama saja seperti judi dan hal tersebut sangat dilarang
keras oleh agama. Inilah pendekatan Deontologis yang saat itu ditempuh
oleh para ulama. Program SDSB banyak menimbulkan kerugian bagi rakyat
kecil yang sudah terlanjur miskin dan harus dibubarkan karena mereka
tergiur prospek akan memperoleh laba besar dan banyak orang kurang mampu
mengabaikan kebutuhan keluarga dan uangnya hanya dibuat untuk membeli
kupon saja karena beranggapaan akan mendapatkan hadiah yang lebih dari
membeli kupon tersebut, maka dari itu konsekuensinya harus ditolak
sesuai dengan prinsip Utilitarisme. Dalam praktek ini terlihat bahwa
hendaknya dalam konteks etika bisnis pertentangan dan perbedaan pada
Utilitarisme dan Deontologi tidak perlu dibesar – besarkan.